Jumat, 19 Januari 2018

AMBIL SAJA CINTAKU...

AMBIL SAJA CINTAKU...

            “Gue nggak tahu kenapa gue bisa jatuh cinta sama Hanif. Padahal, apa sih hebatnya dia? Kalau dibandingin sama Zaky, gantengan Zaky ke mana-mana kali,” aku memonyongkan bibirku. Menggelengkan kepalaku. “Terus ya, kog gue bisa sih jadi cewek yang nggak punya hargi diri gini, ngejar-ngejar Hanif. Harusnya gue sadar, tuh cowok cuek bebek sama gue.”
            Faya Cuma tersenyum. “Namanya juga cinta, cinta tuh nggak butuh alasan kali, Wit,” Faya lantas mengerlingkan matanya. “Hmm, kalau gue pikir-pikir ya, Wit, Hanif tuh kayaknya juga naksir sama lo deh. Mungkin, karena lonya aja yang masih ngebahas si Zaky, mungkin dia ngira kalau lo masih punya hubungan sama Zaky.”
            Aku menatap lekat Faya, menggigit bibir bawahku. “Ya, tapi kan sekarang gue nggak tahu Zaky di mana? Kog bisa-bisanya Hanif berfikir gitu?”
            “Ya, habisnya lo selalu ngebahas Zaky, Zaky, Zaky mulu sih.”
            Aku menghembuskan nafas. Benar juga dengan apa yang Faya bilang. “Hmm, lo mau bantuin gue nggak, Fay?”
            “Apa?”
            “Lo deketin Hanif dan lo interogasi dia tentang gue, gimana?”
            Faya terdiam. Sepertinya ragu.
            “Ayo dong Fay, bantuin gue. Please...” aku memohon.
            Sejenak Faya terdiam. Dan aku terus memohon. “Okelah kalau tuh bisa ngebuat sahabat gue ini seneng,” Faya tersenyum dan aku membalas senyumannya.
            “Gitu dong, baru tuh namanya sahabat gue!”
***
            Hari jum’at, identik dengan ekskul pramuka. Kebetulan, aku, Faya dan juga Hanif ikut ekskul ini. Jadi pulangnya sore.
            Hmm, biasanya aku selalu anter jemput Faya. Tapi sepertinya tidak dengan hari ini. Selain alasan hari sudah sore, sepertinya hari ini kesempatan buat Faya deket sama Hanif. Eh, bukannya aku mau comblangin Faya sama Hanif, tapi aku justeru pengen Faya jadi mak comblang antara aku dan Hanif.
            “Nif, Nif, gue minta tolong dong, anterin Faya. Kasihan nggak ada angkot nyampe rumah dia, gue mau anterin tapi gue udah ada janji sama Disty.”
            “Tapi...”
            “Please dong, Nif.”
            Faya melotot ke arah aku, namun secepatnya ku injak kakinya.
            “Yaudah, ayo Fay,” Hanif akhirnya luluh.
            Aku tersenyum. Faya masih melotot. “Biar ntar gue yang jelasin ke Indra. Selamat berjuang sahabatku,” aku dorong Faya segera mengikuti langkah Hanif menuju parkiran.
            Hmm, Indra. Kurasa pacar Faya mau mengerti. Apalagi Indra itu temannya Hanif. Indra juga tahu kalau aku yang cinta mati sama Hanif, jadi ku pikir semua akan baik-baik saja. Sementara Disty, sahabatku yang satu ini, pasti setuju dengan usulku ini. Apalagi kalau itu bisa membuat aku bahagia dan bersatu sama Hanif.
            “Lo yakin, Wit, sama keputusan lo? Nggak takut gitu kalau Faya bakalan nyerobot Hanif dari lo?” tanya Disty disaat aku ngejelasin semuanya ke dia.
            Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Membuat kening Disty berkerut.
            “Hahaha, ya nggak mungkinlah, Dis. Secara, Faya tuh udah punya Indra. Terus, Faya tuh sahabat gue, sama kayak lo, mana mungkin sih ngianatin gue?” aku masih fokus menyetir.
            Pandangan Disty fokus ke depan. “Semoga saja,” Disty seolah ragu dengan ucapanku.
            “Udah deh, jangan su’udzon gitu. Nggak baik tauk.”
***
            “Eh, kemaren gimana Fay? Lo nanya apa ke Hanif? Terus, dia bilang apa ke lo? Bahas gue apa? Hmm, menurut dia, gue itu gimana?” berondong gue ke Faya saat istirahat di kantin.
            Faya terdiam. Ada tatapan berbeda yang ku tangkap dari raut wajahnya. Sementara telingaku, rasanya sudah tak sabar ingin mendengar celotehnya, dan ku harap celoteh itu adalah berita baik.
            “Ya, dia nanay lo tuh anaknya gimana...” cerita Faya terputus.
            Aku tersenyum. “Terus?”
            Faya menggigit bibir bawahnya. Jemarinya tiba-tiba menggenggam jemariku. Hah? Kenapa ini? Tiba-tiba perasaanku merasa tak enak. “Maafin gue ya, Wit. Tapi kayaknya Hanif suka deh sama gue. Bukannya gue ge-er, tapi...” Faya kembali menggigit bibir bawahnya.
            Guntruseolah menyambar duniaku. Apakah aku tidak salah dengar? Rasanya, aku ingin menangis seketika, atau kalau perlu aku ingin menampar keras Faya. Apa dia nggak sadar, siapa dia? Siapa aku dan siapa Hanif? Lantas, di belakang kami juga ada Indra, pacar Faya sekaligus teman dekat Hanif juga. Tuhan, apakah aku tidak salah dengar?
            Dan semenjak saat itu, aku memutuskan untuk menjauh dari Faya, dan juga Hanif. Mereka semakin dekat dalam pandanganku, seolah tak pernah berfikir tentang perasaanku. Aku juga tak peduli dengan Faya yang berulang ingin memberikan penjelasan kepadaku, bagiku tiada lagi kata ‘maaf’ bagi sebuah pengkhianatan.
            “Wit, maafin gue. Semuanya nggak seperti yang lo pikir,” Faya meronta, memohon maaf kepadaku.
            Aku enggan menatapnya. “Bukannya lo sendiri kan, Fay, yang bilang kalau Hanif tuh suka sama lo? Lantas, mau maaf apa dari gue? Hanif bukan cowok gue!” aku menjawabnya dengan ketus.
            “Tapi, Wit...” Faya seolah ingin memberikan penjelasan kepadaku.
            “Udahlah Fay, anggap aja kita nggak pernah saling kenal,” ucapku lalu beranjak dari dudukku dan meninggalkan Faya. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Hanif.
            “Faya tuh sahabat lo, Wit. Berilah dia maaf, apalagi besok dia mau pindah ke Bandung,” ucap Hanif menghentikan langkahku.
            Aku manatap tajam Hanif. Mata kami saling beradu. “Pernah nggak lo mikirin perasaan gue? Apa dengan memaafkan dia, semua akan kembali baik-baik saja? Sakitnya tuh di sini, Nif!” aku menunjuk dadaku.*


Tidak ada komentar:

Posting Komentar