AMBIL SAJA CINTAKU...
“Gue nggak tahu
kenapa gue bisa jatuh cinta sama Hanif. Padahal, apa sih hebatnya dia? Kalau
dibandingin sama Zaky, gantengan Zaky ke mana-mana kali,” aku memonyongkan
bibirku. Menggelengkan kepalaku. “Terus ya, kog gue bisa sih jadi cewek yang
nggak punya hargi diri gini, ngejar-ngejar Hanif. Harusnya gue sadar, tuh cowok
cuek bebek sama gue.”
Faya Cuma
tersenyum. “Namanya juga cinta, cinta tuh nggak butuh alasan kali, Wit,” Faya
lantas mengerlingkan matanya. “Hmm, kalau gue pikir-pikir ya, Wit, Hanif tuh
kayaknya juga naksir sama lo deh. Mungkin, karena lonya aja yang masih ngebahas
si Zaky, mungkin dia ngira kalau lo masih punya hubungan sama Zaky.”
Aku menatap lekat
Faya, menggigit bibir bawahku. “Ya, tapi kan sekarang gue nggak tahu Zaky di
mana? Kog bisa-bisanya Hanif berfikir gitu?”
“Ya, habisnya lo
selalu ngebahas Zaky, Zaky, Zaky mulu sih.”
Aku menghembuskan
nafas. Benar juga dengan apa yang Faya bilang. “Hmm, lo mau bantuin gue nggak,
Fay?”
“Apa?”
“Lo deketin Hanif
dan lo interogasi dia tentang gue, gimana?”
Faya terdiam.
Sepertinya ragu.
“Ayo dong Fay,
bantuin gue. Please...” aku memohon.
Sejenak Faya
terdiam. Dan aku terus memohon. “Okelah kalau tuh bisa ngebuat sahabat gue ini
seneng,” Faya tersenyum dan aku membalas senyumannya.
“Gitu dong, baru
tuh namanya sahabat gue!”
***
Hari jum’at,
identik dengan ekskul pramuka. Kebetulan, aku, Faya dan juga Hanif ikut ekskul
ini. Jadi pulangnya sore.
Hmm, biasanya aku
selalu anter jemput Faya. Tapi sepertinya tidak dengan hari ini. Selain alasan
hari sudah sore, sepertinya hari ini kesempatan buat Faya deket sama Hanif. Eh,
bukannya aku mau comblangin Faya sama Hanif, tapi aku justeru pengen Faya jadi
mak comblang antara aku dan Hanif.
“Nif, Nif, gue
minta tolong dong, anterin Faya. Kasihan nggak ada angkot nyampe rumah dia, gue
mau anterin tapi gue udah ada janji sama Disty.”
“Tapi...”
“Please dong,
Nif.”
Faya melotot ke
arah aku, namun secepatnya ku injak kakinya.
“Yaudah, ayo Fay,”
Hanif akhirnya luluh.
Aku tersenyum.
Faya masih melotot. “Biar ntar gue yang jelasin ke Indra. Selamat berjuang
sahabatku,” aku dorong Faya segera mengikuti langkah Hanif menuju parkiran.
Hmm, Indra. Kurasa
pacar Faya mau mengerti. Apalagi Indra itu temannya Hanif. Indra juga tahu
kalau aku yang cinta mati sama Hanif, jadi ku pikir semua akan baik-baik saja.
Sementara Disty, sahabatku yang satu ini, pasti setuju dengan usulku ini.
Apalagi kalau itu bisa membuat aku bahagia dan bersatu sama Hanif.
“Lo yakin, Wit,
sama keputusan lo? Nggak takut gitu kalau Faya bakalan nyerobot Hanif dari lo?”
tanya Disty disaat aku ngejelasin semuanya ke dia.
Aku hanya bisa
tertawa terbahak-bahak. Membuat kening Disty berkerut.
“Hahaha, ya nggak
mungkinlah, Dis. Secara, Faya tuh udah punya Indra. Terus, Faya tuh sahabat
gue, sama kayak lo, mana mungkin sih ngianatin gue?” aku masih fokus menyetir.
Pandangan Disty
fokus ke depan. “Semoga saja,” Disty seolah ragu dengan ucapanku.
“Udah deh, jangan
su’udzon gitu. Nggak baik tauk.”
***
“Eh, kemaren
gimana Fay? Lo nanya apa ke Hanif? Terus, dia bilang apa ke lo? Bahas gue apa?
Hmm, menurut dia, gue itu gimana?” berondong gue ke Faya saat istirahat di
kantin.
Faya terdiam. Ada
tatapan berbeda yang ku tangkap dari raut wajahnya. Sementara telingaku, rasanya
sudah tak sabar ingin mendengar celotehnya, dan ku harap celoteh itu adalah
berita baik.
“Ya, dia nanay lo
tuh anaknya gimana...” cerita Faya terputus.
Aku tersenyum.
“Terus?”
Faya menggigit
bibir bawahnya. Jemarinya tiba-tiba menggenggam jemariku. Hah? Kenapa ini?
Tiba-tiba perasaanku merasa tak enak. “Maafin gue ya, Wit. Tapi kayaknya Hanif
suka deh sama gue. Bukannya gue ge-er, tapi...” Faya kembali menggigit bibir
bawahnya.
Guntruseolah
menyambar duniaku. Apakah aku tidak salah dengar? Rasanya, aku ingin menangis
seketika, atau kalau perlu aku ingin menampar keras Faya. Apa dia nggak sadar,
siapa dia? Siapa aku dan siapa Hanif? Lantas, di belakang kami juga ada Indra,
pacar Faya sekaligus teman dekat Hanif juga. Tuhan, apakah aku tidak salah
dengar?
Dan semenjak saat itu, aku memutuskan untuk menjauh dari Faya, dan
juga Hanif. Mereka semakin dekat dalam pandanganku, seolah tak pernah berfikir
tentang perasaanku. Aku juga tak peduli dengan Faya yang berulang ingin
memberikan penjelasan kepadaku, bagiku tiada lagi kata ‘maaf’ bagi sebuah
pengkhianatan.
“Wit, maafin gue.
Semuanya nggak seperti yang lo pikir,” Faya meronta, memohon maaf kepadaku.
Aku enggan
menatapnya. “Bukannya lo sendiri kan, Fay, yang bilang kalau Hanif tuh suka
sama lo? Lantas, mau maaf apa dari gue? Hanif bukan cowok gue!” aku menjawabnya
dengan ketus.
“Tapi, Wit...”
Faya seolah ingin memberikan penjelasan kepadaku.
“Udahlah Fay,
anggap aja kita nggak pernah saling kenal,” ucapku lalu beranjak dari dudukku
dan meninggalkan Faya. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Hanif.
“Faya tuh sahabat
lo, Wit. Berilah dia maaf, apalagi besok dia mau pindah ke Bandung,” ucap Hanif
menghentikan langkahku.
Aku manatap tajam
Hanif. Mata kami saling beradu. “Pernah nggak lo mikirin perasaan gue? Apa
dengan memaafkan dia, semua akan kembali baik-baik saja? Sakitnya tuh di sini,
Nif!” aku menunjuk dadaku.*
0 komentar:
Posting Komentar