Sabtu, 20 Januari 2018

Januari 20, 2018 0

CINTA NON KOMERSIL

CINTA NON KOMERSIL
By : Witri Prasetyo Aji

            “Vi, tahu nggak, hari ini Edo ngajak gue nonton. Pokoknya, hari ini tuh gue seennengg banget,” cerita Clara kepadaku dengan wajah berseri-seri. Senyuman hampir tak pernah terlepas dari bibir manisnya itu.
            Aku hanya mampu tersenyum getir melihat kebahagiaan Clara dan tetap setia mendengarkan penuturannya yang sebenarnya membuatku merasa iri. Bagaimana tidak? Jadi Clara tuh beruntung banget, sudah anaknya cantik, manis, pinter, anak orang kaya pula. Selain itu, Clara juga punya pacar Edo yang cakep dan kaya. Sering nonton bareng, jalan-jalan, hang out, dan sering diberi kejutan-kejutan pula. Beda banget dengan aku. Walaupun aku tak kalah cantiknya dengan Clara, tapi aku tak seberuntung Clara yang mendapatkan pangeran cakep nan kaya macam si Edo.
            Pacarku bernama Ryan, memang tidak sekaya Edo, namun Ryan cukup memberikanku perhatian lebih dari yang Edo berikan ke Clara. Ryan itu  anaknya biasa saja, dari keluarga sederhana pula, pacaran kami pun tak ada romantis-romantisnya. Ryan tidak pernah mengajakku nonton, makan bareng apalagi membelikanku kejutan-kejutan kecil seperti Edo. Ya, aku bisa mengerti itu. Buat bayar SPP saja sering ngadat, apalagi buat membelikanku kejutan-kejutan berupa barang.
            Pernah aku minta sesuatu ke Ryan, namun dia malah ngatain aku cewek matre dan membanding-bandingkan aku dengan Rena—mantan pacarnya. Dan setelah itu, aku sama sekali tak berani meminta apapun pada Ryan. Bahkan, saat jalan bareng pun aku juga tak pernah meminta dibeliin makanan olehnya walaupun saat itu aku sedang lapar. Aku cukup trauma dibilang cewek matre oleh pacarku sendiri. Padahal waktu itu aku hanya minta Ryan untuk membelikanku sebuah novel.
            “Woi, kok bengong sih?” gertak Clara mengagetkanku. Lamunanku membuyar. Aku pun kembali terdampar dalam dunia nyata.
            “Eh, oh, eh,” jawabku gelagapan. Aku jadi salah tingkah sendiri.
            “Lo kenapa sih, Vi? Akhir-akhir ini gue perhatiin lo tuh sering banget ngelamun?” tanya Clara padaku sembari menyeruput jus alpukatnya.
Aku juga menyeruput jus apelku yang sedari tadi aku anggurin lantaran melamun tentang kepelitan Ryan padaku.
“Nggak apa-apa kok, Ra. Mungkin gue sedikit kecapekan aja,” bohongku.
Walaupun Clara sahabat karibku, aku tak mungkin bercerita padanya tentang gaya pacaranku dengan Ryan. Aku nggak mau kalau pacarku akan dikatain cowok nggak modal. Walau bagaimanapun juga, Ryan itu adalah cowok yang aku cintai. Mana mungkin hatiku bisa menerima seandainya ada yang menghinanya. Yah, walaupun pada kenyataannya Ryan memang sedikit keterlaluan, dia begitu berbeda dengan yang lainnya. Yang jelas, Ryan terlalu perhitungan perihal pengeluaran.
“Oh, ya Vi, gimana kalo ntar kita nonton bareng? Double date gitu?” usul Clara yang sebenarnya lumayan menarik untuk dijalani.
Aku mengerutkan keningku. Rasanya itu mustahil. Ryan mana mau menghambur-hamburkan uangnya hanya buat nonton. Bisa-bisa dia malah menceramahiku dan mungkin akan bilang... aku matre.
“Kayaknya gue nggak bisa deh, Ra. Tadi Mama nyuruh gue cepet-cepet pulang kalo nggak ada kuliah,” alasanku yang berusaha menyelamatkan diri dari ajakan Clara.
Clara menampakkan wajah cemberutnya. Bibirnya manyun. Sepertinya kecewa, begitu juga dengan aku. Tapi, ya sudahlah. Aku tak berani mengambil resiko, aku sedang malas berdebat dengan Ryan.
“Yah, sayang sekali.padahal hari ini tuh ada film horor terbaru, gue yakin lo pasti suka,” celoteh Clara yang semakin membuatku merasa iri.
Aku hanya mampu tersenyum getir, menyembunyikan kekecewaanku.
“Lain kali kan masih ada waktu, Ra,” ucapku menghibur.
Clara hanya manggut-manggut dan kembali menyeruput jus alpukatnya.
*****
            Malam minggu. Aku selalu menghabiskan malam mingguku di rumah. Walaupun Ryan kerap sekali datang ngapel, namun sekalipun Ryan belum pernah mengajakku malam mingguan di luar. Katanya, malam minggu di rumah lebih aman, malah bisa lebih dekat dengan kelurgaku. Dan juga, udara malam itu nggak baik buat kesehatan, dan bla bla bla. Ryan selalu mempunyai sejuta aalsan untuk tidak mengajakku malam minggu di luar.
            “Kog Cuma diem aja sih, Vi?” tanya Ryan kepadaku.
            “Nggak apa-apa kog,” jawabku datar. Sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan keinginanku, aku ingin pacaran yang wajar, seperti teman-temanku yang lainnya. Setidaknya, ada jalan-jalan, dinner, lunch, nonton, kado-kado kecil atau apalah. Sementara aku dan Ryan? Sama sekali nothing special, monoton dan membosankan. Pacaran selalu di rumah dan ditemani buku-buku kuliah serta rancangan masa depan yang menurutku belum waktunya untuk aku pikirkan.
            “Vi, kalo ada masalah tuh cerita, jangan dipendem sendiri,” ujarnya menasehatiku.
            Aku menyunggingkan senyum keterpaksaan. Mudah sekali Ryan berbicara seperti itu. Apa dia tak menyadari bagaimana dirinya selama ini menjadi pacarku? Kenapa Ryan sama sekali tak memikirkan tentang perasaan aku, hati aku? Kenapa dia sama sekali tidak peka, sih?
            Aku hanya terdiam. Rasanya masih malas untuk berkeluh kesah pada Ryan. Aku sudah bosan mendengarkan ceramah-ceramah Ryan yang terlalu berlebihan itu. Lebay.
            “Vi, aku ini pacar kamu, kenapa kamu nggak mau cerita ke aku?” tanyanya lagi.
            Aku menarik nafas berat. Menatap Ryan lekat-lekat. Wajah polosnya itu membuatku tak tega untuk menuntut lebih dari apa yang Ryan berikan kepadaku selama ini. Bahkan, dari sinar matanya aku mampu melihat ketulusannya yang tak pernah orang lain pancarkan.
            Apa aku salah, jika aku ingin pacaran seperti yang lainnya? Batinku menjerit di ambang dilema. Antara kejujuran atau aku harus menahan egoku.
            Aku menunduk. Air mataku menetes.
            “Kok malah nangis sih, Vi?” tanya Ryan yang mendekat ke arahku. Tangannya yang lembut mengusap pipiku yang basah karena air mata.
            Tangisku semakin terisak. Ryan lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya.“Diam dong Sayang, jangan nagis. Ntar diketawain bintang-bintang loh,” hibur Ryan padaku. Nada bicaranya terdengar lembut dan menyejukkan hati.
            Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Menikmati pelukan Ryan yang cukup menghangatkan. Sementara egoku masih tetap bergejolak dalam hatiku. Anganku menerawang ke Clara yang tengah nonton dengan Edo. Pasti sehabis nonton, Edo akan mengajaknya dinner atau siap membelikan barang-barang mewah yang tak pernah Ryan berikan padaku.
            “Sayang, ada bintang jatuh tuh. Cepet make a wish,” ucap Ryan sembari menunjuk ke langit dan membuyarkan lamunanku tentang Clara dan Edo.
            Aku menutup mataku. Menginginkan kalau Ryan mau berubah seperti cowok-cowok yang lainnya. Setidaknya mau menyisihkan sedikit uangnya untuk modal pacaran kami agar tak monoton seperti ini. Hmm, malam minggu selalu dihabiskan di pelataran rumahku sembari melihat bintang, benar-benar membosankan.
            “Sayang, semoga kita berjodoh, ya? Aku nggak mau kehilangan kamu, aku pengen kamu nanti jadi isteri aku,” ucap Ryan yang membuatku tersentak. Seserius itukah dia padaku?
            Aku hanya tersenyum.
            Dalam hatiku rasanya ingn menolak ucapan Ryan. Membayangkan bagaimana menata kehidupan bersama cowok perhitungan seperti Ryan. Bisa-bisa sebulan diajak puasa. Ah, tidak! Aku dan Ryan masih terlalu dini untuk berpikir ke arah itu.
*****
            Aku mendekat ke arah Clara yang tengah mengaduk makanannya. Wajahnya terlihat murung dan kelam. Aku tak lagi melihat wajah sumringah yang biasa terpancar dari Clara.
            “Lo kenapa, Ra? Ada masalah?” berondongku ingin tahu.
            Clara hanya terdiam. Dia masih mengaduk makanan yang sudah dipesannya oleh Mbok Min—ibu kantin. Hingga beberapa menit kemudian, Clara masih terdiam, namun dia segera memelukku ditemani airmata yang tumpah dari pelupuk matanya. Aku semakin bingung dibuatnya.  What happen? Pekikku dalam hati.
            Untuk beberapa saat, aku membiarkan Clara berteduh dalam pelukanku. Aku memang belum tahu dengan apa yang tengah menimpa Clara, tapi aku tahu kalau Clara sangat terpukul.
            Perlahan Clara melepaskan pelukannya. Dia lalu mengusap airmata yang tengah membasahi wajahnya. Dan Clara mulai sedikit tenang.
            “Clara, ada apa? Cerita dong,” bujukku penuh rasa penasaran.
            Clara hanya terdiam. Sepertinya dia butuh waktu untuk mengungkapkan apa yang tengah menimpanya. Sebagai sahabat, aku cukup sabar menanti Clara membagi cerintanya.
            “Gue putus ma Edo,” ucap Clara singkat. Bagai petir di siang bolong, aku tak percaya dengan apa yang diucapkan Clara. Mungkin ini semua haya lelucon belaka yang sengaja Clara ciptakan.
            “Hahahahhahah,” tawaku penuh rasa tak percaya.
            “Braakkkk!!” Clara mengertak meja dan membuatku menghentikan tawaku. Hingga beberapa pasang mata sempat melirik ke arahku dan Clara. “Gue serius, Vi!” ucap Clara setengah membentak.
            Beberapa detik kami dalam keheningan. Aku merasa bersalah karena telah menertawakan Clara.
            “Edo itu ternyata playboy. Dia pikir, dengan uang semua akan mampu dia dapatkan,” ucap Clara tiba-tiba. Aku hanya mendengarkannya saja, aku diam. “Yang lebih menyakitkan, dia bukan hanya berfikir kalau dia mampu membeli cinta, tapi...” Clara kembali tertahan. “Harga diri gue.”
            Aku melirik wajah kelam Clara yang begitu pilu. Aku tahu bagaimana besar cinta Clara ke Edo. Namun aku juga tahu dengan apa yang Clara rasakan saat ini, mungkin lebih dari kecewa.
            “Dan yang ngebuat gue lebih nggak percaya, habis nonton dia malah ngajak gue happy-happy ke hotel. Ah,” sambung Clara penuh getir.
            Aku hanya diam mendengarkannya, aku tak mau banyak bertanya, karena mungkin  pertanyaanku hanya akan semakin menyiksa perasaan Clara. Tapi dari cerita Clara, setidaknya aku tahu, cowok kaya itu banyak nggak setianya. Dan aku, aku merasa bersalah karena pernah membandingkan Ryan dengan Edo, padahal Ryan jauh lebih menghargai wanita daripada Edo.
*****
Dan sore itu, Ryan mengajakku untuk makan di luar. Sesuatu yang jauh banget dari kebiasaan. Mungkin, selama kami pacaran, ini adalah kencan pertama kami. Ah, aku yang terlihat lebay..hehe
“Vi,” panggil Ryan lirih.
“Iya,” jawabku sembari meliriknya.
Ryan hanya diam saja, dia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Ada kotak kecil yang dibukanya. Lalu menarik jemariku dan menyematkan sebuah cincin berlian di jari manisku.
            “Vi, maafin aku selama ini kalau aku nggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Tapi aku janji, Vi, aku akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu,” ucap Ryan yang menatap lekatku.

            Aku tak lagi mampu berkata apa-apa. Mungkin hanya air suci yang terjatuh dari sudut mataku yang mampu menjawab kejutan kecil ini. J

Jumat, 19 Januari 2018

Januari 19, 2018 0

AMBIL SAJA CINTAKU...

AMBIL SAJA CINTAKU...

            “Gue nggak tahu kenapa gue bisa jatuh cinta sama Hanif. Padahal, apa sih hebatnya dia? Kalau dibandingin sama Zaky, gantengan Zaky ke mana-mana kali,” aku memonyongkan bibirku. Menggelengkan kepalaku. “Terus ya, kog gue bisa sih jadi cewek yang nggak punya hargi diri gini, ngejar-ngejar Hanif. Harusnya gue sadar, tuh cowok cuek bebek sama gue.”
            Faya Cuma tersenyum. “Namanya juga cinta, cinta tuh nggak butuh alasan kali, Wit,” Faya lantas mengerlingkan matanya. “Hmm, kalau gue pikir-pikir ya, Wit, Hanif tuh kayaknya juga naksir sama lo deh. Mungkin, karena lonya aja yang masih ngebahas si Zaky, mungkin dia ngira kalau lo masih punya hubungan sama Zaky.”
            Aku menatap lekat Faya, menggigit bibir bawahku. “Ya, tapi kan sekarang gue nggak tahu Zaky di mana? Kog bisa-bisanya Hanif berfikir gitu?”
            “Ya, habisnya lo selalu ngebahas Zaky, Zaky, Zaky mulu sih.”
            Aku menghembuskan nafas. Benar juga dengan apa yang Faya bilang. “Hmm, lo mau bantuin gue nggak, Fay?”
            “Apa?”
            “Lo deketin Hanif dan lo interogasi dia tentang gue, gimana?”
            Faya terdiam. Sepertinya ragu.
            “Ayo dong Fay, bantuin gue. Please...” aku memohon.
            Sejenak Faya terdiam. Dan aku terus memohon. “Okelah kalau tuh bisa ngebuat sahabat gue ini seneng,” Faya tersenyum dan aku membalas senyumannya.
            “Gitu dong, baru tuh namanya sahabat gue!”
***
            Hari jum’at, identik dengan ekskul pramuka. Kebetulan, aku, Faya dan juga Hanif ikut ekskul ini. Jadi pulangnya sore.
            Hmm, biasanya aku selalu anter jemput Faya. Tapi sepertinya tidak dengan hari ini. Selain alasan hari sudah sore, sepertinya hari ini kesempatan buat Faya deket sama Hanif. Eh, bukannya aku mau comblangin Faya sama Hanif, tapi aku justeru pengen Faya jadi mak comblang antara aku dan Hanif.
            “Nif, Nif, gue minta tolong dong, anterin Faya. Kasihan nggak ada angkot nyampe rumah dia, gue mau anterin tapi gue udah ada janji sama Disty.”
            “Tapi...”
            “Please dong, Nif.”
            Faya melotot ke arah aku, namun secepatnya ku injak kakinya.
            “Yaudah, ayo Fay,” Hanif akhirnya luluh.
            Aku tersenyum. Faya masih melotot. “Biar ntar gue yang jelasin ke Indra. Selamat berjuang sahabatku,” aku dorong Faya segera mengikuti langkah Hanif menuju parkiran.
            Hmm, Indra. Kurasa pacar Faya mau mengerti. Apalagi Indra itu temannya Hanif. Indra juga tahu kalau aku yang cinta mati sama Hanif, jadi ku pikir semua akan baik-baik saja. Sementara Disty, sahabatku yang satu ini, pasti setuju dengan usulku ini. Apalagi kalau itu bisa membuat aku bahagia dan bersatu sama Hanif.
            “Lo yakin, Wit, sama keputusan lo? Nggak takut gitu kalau Faya bakalan nyerobot Hanif dari lo?” tanya Disty disaat aku ngejelasin semuanya ke dia.
            Aku hanya bisa tertawa terbahak-bahak. Membuat kening Disty berkerut.
            “Hahaha, ya nggak mungkinlah, Dis. Secara, Faya tuh udah punya Indra. Terus, Faya tuh sahabat gue, sama kayak lo, mana mungkin sih ngianatin gue?” aku masih fokus menyetir.
            Pandangan Disty fokus ke depan. “Semoga saja,” Disty seolah ragu dengan ucapanku.
            “Udah deh, jangan su’udzon gitu. Nggak baik tauk.”
***
            “Eh, kemaren gimana Fay? Lo nanya apa ke Hanif? Terus, dia bilang apa ke lo? Bahas gue apa? Hmm, menurut dia, gue itu gimana?” berondong gue ke Faya saat istirahat di kantin.
            Faya terdiam. Ada tatapan berbeda yang ku tangkap dari raut wajahnya. Sementara telingaku, rasanya sudah tak sabar ingin mendengar celotehnya, dan ku harap celoteh itu adalah berita baik.
            “Ya, dia nanay lo tuh anaknya gimana...” cerita Faya terputus.
            Aku tersenyum. “Terus?”
            Faya menggigit bibir bawahnya. Jemarinya tiba-tiba menggenggam jemariku. Hah? Kenapa ini? Tiba-tiba perasaanku merasa tak enak. “Maafin gue ya, Wit. Tapi kayaknya Hanif suka deh sama gue. Bukannya gue ge-er, tapi...” Faya kembali menggigit bibir bawahnya.
            Guntruseolah menyambar duniaku. Apakah aku tidak salah dengar? Rasanya, aku ingin menangis seketika, atau kalau perlu aku ingin menampar keras Faya. Apa dia nggak sadar, siapa dia? Siapa aku dan siapa Hanif? Lantas, di belakang kami juga ada Indra, pacar Faya sekaligus teman dekat Hanif juga. Tuhan, apakah aku tidak salah dengar?
            Dan semenjak saat itu, aku memutuskan untuk menjauh dari Faya, dan juga Hanif. Mereka semakin dekat dalam pandanganku, seolah tak pernah berfikir tentang perasaanku. Aku juga tak peduli dengan Faya yang berulang ingin memberikan penjelasan kepadaku, bagiku tiada lagi kata ‘maaf’ bagi sebuah pengkhianatan.
            “Wit, maafin gue. Semuanya nggak seperti yang lo pikir,” Faya meronta, memohon maaf kepadaku.
            Aku enggan menatapnya. “Bukannya lo sendiri kan, Fay, yang bilang kalau Hanif tuh suka sama lo? Lantas, mau maaf apa dari gue? Hanif bukan cowok gue!” aku menjawabnya dengan ketus.
            “Tapi, Wit...” Faya seolah ingin memberikan penjelasan kepadaku.
            “Udahlah Fay, anggap aja kita nggak pernah saling kenal,” ucapku lalu beranjak dari dudukku dan meninggalkan Faya. Di tengah jalan, aku berpapasan dengan Hanif.
            “Faya tuh sahabat lo, Wit. Berilah dia maaf, apalagi besok dia mau pindah ke Bandung,” ucap Hanif menghentikan langkahku.
            Aku manatap tajam Hanif. Mata kami saling beradu. “Pernah nggak lo mikirin perasaan gue? Apa dengan memaafkan dia, semua akan kembali baik-baik saja? Sakitnya tuh di sini, Nif!” aku menunjuk dadaku.*


Selasa, 09 Januari 2018

Januari 09, 2018 0

BERBICARA MELALUI PENA

BERBICARA MELALUI PENA

By : Witri Prasetyo Aji

Namaku Syaini Margaretha. Aku seorang penyanyi, tapi itu dulu. Sebelum suaraku melayang karena tragedi kecelakaan yang juga menewaskan kedua orang tuaku. Kecelakaan beruntun yang terjadi lantaran sopir bus mengantuk dan menabrak mobil yang kami tumpangi.

Empat tahun yang lalu, aku masih bisa bernyanyi dengan nada yang tinggi. Masih bisa bercerita panjang lebar kepada sahabat-sahabatku tentang apa yang aku alami. Tapi sekarang? Semua hanyalah seutas kenangan yang rasanya mustahil akan kembali.

Aku bisu.

Aku tak lagi bisa bercerita, apalagi bernyanyi dengan nada-nada merdu. Padahal, apa kalian tahu? Ibadahku adalah dengan bernyanyi. Bernyanyi untuk Tuhan Yesus. Tapi aku bisu. Bagaimana aku bisa bernyanyi? Bagaimana aku bisa beribadah?


Ah, aku bosan dengan keadaan ini. Aku yang tidak hanya bisu, melainkan juga yatim piatu. Aku yang bukan hanya kehilangan suara saja, melainkan kehilangan kedua orang tuaku.


Tak terasa bulir-bulir bening itu menetes, membasuh kedua pipiku yang mulai tirus  karena aku semakin kurus.


Ya, aku menangis bukan karena kehilangan suaraku, bukan karena aku tidak bisa bernyanyi. Tapi lebih tepatnya, karena aku kehilangan orang tuaku.

Aku masih butuh mereka! Kakakku, tidak cukup untukku. Suatu saat nanti, dia pasti akan menikah dan meninggalkan aku seorang diri. Lantas, bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan nasibku? Siapa yang sudi merawatku? Dan siapa pula yang sudi dengan gadis bisu sepertiku?            Ah, air mataku semakin membuncah. Aku tak sanggup memikul perih ini seorang diri. Rasanya, aku ingin sekali mengungkapkan rasa ini pada mereka semua, tapi dengan bagaimana? Berbicara saja aku tak mampu, apalagi bercerita.


Dan tiba-tiba, terdengar ganggang pintu kamarku dibuka. Aku sesegera mungkin mengusap air mataku yang menetes. Aku tak mau ada yang tahu kalau aku tengah menangis. Aku tak mau terlihat lemah di depan mereka. Aku ini Sya, gadis yang kuat dan selalu periang. Aku tak pernah merasa sedih apalagi menangis.


“Sya,” panggilnya. Aku hafal betul dengan suara itu. Itu adalah suara milik Reno, kakakku sekaligus satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini. Sekaligus, aku cintai.


Mungkin terkesan gila. Aku mencintai kakak kandungku sendiri. Tapi apa boleh dikata, itu keyataannya. Dan aku tak tahu sejak kapan. Karena setelah kecelakaan itu, hanya Reno dan Reno yang selalu kulihat. Hanya dia yang menyayangiku, merawatku dan sekaligus memberikan motivasi agar aku tak takut dengan kedaan ini. Agar aku tak lagi trauma naik mobil, dan agar aku tidak minder dengan keadaanku yang cacat ini.


Aku menoleh. Aku hanya mengangkat wajahku.


“Ayo ke gereja!” ajaknya.


Gereja?


Ya, sekuat-kuatnya aku, tapi aku akan selalu menolak bila di ajak ke gereja. Dan sudah hampir 4 tahun aku tak menginjak yang namanya gereja. Bukan karena aku lupa pada Yesus, melainkan keadaan yang memaksaku seperti ini.

Aku menunduk.   
        
“Kenapa?” tanya Reno yang telah jongkok di hadapanku. Membuat darahku mengalir deras. Apalagi tatapannya yang tajam itu, membuatku semakin gugup saja.


Aku menggeleng.


“Sampai kapan kau akan begini, Sya?” tanyanya seolah frustasi.


Sampai aku bisa bernyanyi, jawabku dalam batin.

Reno lalu memelukku erat. “Kumohon Sya, kamu jangan seperti ini. Kamu butuh Yesus, Sya. Jangan tinggalkan Dia,” ucap Reno di tengah isak tangisnya.

Ah, aku tak pernah melupakan Yesus. Tapi, tapi aku belum siap dengan keadaan ini. Itu saja. Dan aku hanya butuh waktu.

***
Aku merasa kesepian. Selalu di kamar dan ditinggal bekerja oleh Kak Reno. Aku butuh teman untuk bicara.


Aku melihat sebuah buku tergeletak di meja samping ranjangku. Aku meraihnya. Dan jemariku, dengan indah menari di atasnya.

Dear Yesus,
Tuhanku, Kau Maha Tahu
Sebagaimana tahu apa yang tidak pernah mereka tahu
Dan Kau pun tahu, aku sama sekali tak pernah melupakanmu
Dan mungkin hampir sama, seperti aku yang tak pernah
Melupakannya
Sya

Ah, jemariku pun tiba-tiba terhenti. Dalam otakku, banyak sekali yang ingin aku ungkapkan. Tapi jemariku, masih enggan untuk menulis. Justeru mulutku sibuk berkomat-kamit tanpa suara.

  
Keadaan ini benar-benar menyiksaku, aku sudah tidak tahan. Aku ingin berbicara, aku ingin bercerita. Tapi kenapa terasa sulit sekali? Kenapa?


Aku ingin berteriak atas kekesalan ini, kenapa tidak bisa?


Emosiku melouap. Aku melempar bukuku dan bolpoinnya. Dan aku, kembali menangis. Kesal dan juga bingung. Kenapa aku seperti ini? Kenapa diusiaku yang tergolong muda, aku harus cacat?

***
Entah karena capek, atau entah karena mengantuk. Mataku terpejam. Dan aku merasa berada di suatu tempat yang indah. Tempat yang dipenuhi dengan bunga-bunga. Udaranya begitu sejuk. Namun, sepi.


Aku terus memutar tubuh mengamati sekelilingku. Sama sekali tak ada seorangpun berada. Dan aku, menanti. Entah apa yang aku nanti, aku tak tahu.

Hingga akumelihat Mama dan Papa berjalan ke arahku. Mereka mengenakan baju putih-putih. 

“Mama? Papa?” teriakku dan berlari ke arah mereka yang juga tengah menuju ke arahku.

Mereka hanya tersenyum tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Ketika kami saling mendekat, kami berpelukan.

Rasanya, rinduku tengah terobati.

Kami bercengkerama untuk beberapa saat. Hingga waktunya telah habis dan Mama dan Papa meninggalkanku seorang diri. Tapi, sebelum mereka pergi, mereka memberikan sebuah buku kepadaku.

“Apa ini?” tanyaku tak mengerti.

Tapi mereka sama sekali tak menjawabnya adan hanya tersenyum. Lalu meninggalkanku seorang diri.

Sementara aku, aku masih diliputi kebingungan yang tak menentu.

Apa arti semua ini?

***

Ketika aku terbangun dari mimpiku, Reno sudah ada di dekatku. Rupanya dia sudah pulang dari kantornya.

Aku membelalakkan mata. Menatapya setengah melotot. Namun Reno hanya tersenyum menatapku. 

“Kau sudah bangun?” tanyanya.

Aku mengangguk pelan.

“Aku punya sesuatu untukmu!” katanya.

“Apa?” tayaku dengan bahasa isyarat.

Lalu, Reno memperlihatkan sebuah novel untukku. “Aku tahu, selama aku bekerja, kau pasti kesepian. Ku harap, novel ini bisa menjadi pengobat kebosananmu ketika aku bekerja,” ucapnya lalu memberikan novel itu kepadaku.

Aku menerimanya. Melihat-lihat sampulnya, lalu membukanya lembar demi lembar. Dan sepertinya, ceritanya menarik.

“Terima kasih ya, Kak,” kataku dengan bahasa isyarat.

Dan semenjak saat itu, aku menjadi seorang yag hobi membaca. Setiap kali Kak Reno mau berangkat bekerja, dan dia bertanya padaku : “Kamu mau oleh-oleh apa?”

Aku hanya memperlihatkan sebuah novel. Dengan begtu, dia bisa langsung tanggap kalau aku menginginkan sebuah novel baru. Dan setelahnya dia pulang kantor, pasti sudah siap dengan novel baru untukku.

Bahkan, tak jarang kalau Kak Reno bertanya padaku tentang novel yang baru aku baca. Aku hanya bercerita dengan bahasa isyarat. Atau, kadang merangkumkan cerita-cerita itu di atas kertas.

“Sya, kenapa kamu tak menulis saja?” tanya Kak Reno tiba-tiba.

Menulis? Aku terkejut mendengar pertanyaan itu.

“Apa yang harus aku tulis?”

“Apa yang ada di pikiran kamu!”

Aku terdiam. Menulis apa yang ada di pikiranku.

***

Keesokan harinya, Kak Reno pulang dengan membawa sebuah leptop untukku.

“Untuk apa itu? Mana novel untukku?”

Kak Reno hanya tersenyum. “Udah bukan lagi zamannya baca novel, tapi zamannya kamu yang nulis novel,” ucap Kak Reno kepadaku.

“Tapi aku enggak bisa!”

“Coba dulu baru alesan,” ucapnya. “Oh ya, Kakak pesen satu novel yaa, Sya,” tambahnya lalu nyelonong pergi.

Ah, Kak Reno. Selalu saja punya cara agar aku tidak bosan, agar aku punya kegiatan.

Aku jadi teringat dulu, Kak Reno yang selalu memuji-muji suaraku. Awalnya aku yang hanya penyayanyi gereja, akhirnya bisa menjadi penyanyi dalam pesta-pesta.

Dan demi Kak Reno, aku belajar menulis. Belajar bercerita melalui pena. Jika dulu aku bisa bercerita melalui lisan, kenapa sekarang aku tak bisa bercerita melalui pena.

Dan jika mereka semua bertanya tentang apa yang aku ceritakan, aku akan menjawabnya tentang diriku. Tengtang gadis bisu yang yatim piatu, hidup bersama kakaknya dan jatuh cinta pada kakaknya sendiri. Gadis bisu itu hanya bisa memendam perasaannya, karena dia menyadari kalau perasaannya adalah sesuatu yang salah dan terlarang.



***
Beberapa bulan berlalu.....

Aku sudah bisa menulis. Dan orang yang pertama membaca tulisanku adalah Kakakku sendiri, salah satu tokoh dalam novel yang aku buat.

“Sya, imajinasimu bagus bener?” pujiya.


Aku hanya tersenyum. Dia menganggap itu semua hanyalah imajinasi? Apakah dia tak sadar, kalau apa yang dia baca adalah cerminan dari dirinya sendiri dan diriku???