YANG MEREKA BILANG
Senja
kala itu, aku masih dalam pengharapan yang pada akhirnya menyisakan
keputusasaan. Tak seorangpun tahu dengan apa yang tengah bergejolak pada
pikirku, terutama hatiku. Mereka terlampau sibuk dengan apa yang mereka lihat. Konon
katanya, aku adalah symbol keberuntungan. Dengan kesempurnaan dan kebahagiaan—yang
sebenarnya fana—dan penuh penuh dusta.
Argh…
Mereka
tak akan pernah percaya dengan bulir-bulir bening yang sering kali menjadi
hiasan di sudut mataku. “Kau tak pernah mampu bersyukur,” ucap seorang jika aku
ungkap tentang rasaku.
Ini hidup…
Aku bukanlah
bidadari berhati malaikat. Hatiku kerap kali merasa luka ketika lidah mereka
mulai menancapkan sebilu. Aku tak pernah mampu membendung air suci yang pada
akhirnya membunuh senyumku. Aku… butuh kejujuran. Karena aku Lelah dalam
kepura-puraan.
Hingga
saatnya Tuhan membiarkan aku berbicara.
Kata mereka,
aku jahat, hatiku yang penuh duri…
akulah tempat semua kesalahan berada. Aku bukan lagi symbol keberuntungan. Tapi
aku hanyalah awal dari malapetaka. Iya…