BERBICARA MELALUI PENA
By :
Witri Prasetyo Aji
Namaku Syaini Margaretha. Aku
seorang penyanyi, tapi itu dulu. Sebelum suaraku melayang karena tragedi
kecelakaan yang juga menewaskan kedua orang tuaku. Kecelakaan beruntun yang
terjadi lantaran sopir bus mengantuk dan menabrak mobil yang kami tumpangi.
Empat tahun yang lalu, aku masih
bisa bernyanyi dengan nada yang tinggi. Masih bisa bercerita panjang lebar
kepada sahabat-sahabatku tentang apa yang aku alami. Tapi sekarang? Semua
hanyalah seutas kenangan yang rasanya mustahil akan kembali.
Aku bisu.
Aku tak lagi bisa bercerita, apalagi
bernyanyi dengan nada-nada merdu. Padahal, apa kalian tahu? Ibadahku adalah dengan
bernyanyi. Bernyanyi untuk Tuhan Yesus. Tapi aku bisu. Bagaimana aku bisa
bernyanyi? Bagaimana aku bisa beribadah?
Ah, aku bosan dengan keadaan ini.
Aku yang tidak hanya bisu, melainkan juga yatim piatu. Aku yang bukan hanya
kehilangan suara saja, melainkan kehilangan kedua orang tuaku.
Tak terasa bulir-bulir bening itu
menetes, membasuh kedua pipiku yang mulai tirus karena aku semakin kurus.
Ya, aku menangis bukan karena
kehilangan suaraku, bukan karena aku tidak bisa bernyanyi. Tapi lebih tepatnya,
karena aku kehilangan orang tuaku.
Aku masih butuh mereka! Kakakku,
tidak cukup untukku. Suatu saat nanti, dia pasti akan menikah dan meninggalkan
aku seorang diri. Lantas, bagaimana dengan aku? Bagaimana dengan nasibku? Siapa
yang sudi merawatku? Dan siapa pula yang sudi dengan gadis bisu sepertiku? Ah, air mataku semakin membuncah.
Aku tak sanggup memikul perih ini seorang diri. Rasanya, aku ingin sekali
mengungkapkan rasa ini pada mereka semua, tapi dengan bagaimana? Berbicara saja
aku tak mampu, apalagi bercerita.
Dan tiba-tiba, terdengar ganggang
pintu kamarku dibuka. Aku sesegera mungkin mengusap air mataku yang menetes.
Aku tak mau ada yang tahu kalau aku tengah menangis. Aku tak mau terlihat lemah
di depan mereka. Aku ini Sya, gadis yang kuat dan selalu periang. Aku tak
pernah merasa sedih apalagi menangis.
“Sya,” panggilnya. Aku hafal betul
dengan suara itu. Itu adalah suara milik Reno, kakakku sekaligus satu-satunya
orang yang kumiliki di dunia ini. Sekaligus, aku cintai.
Mungkin terkesan gila. Aku mencintai
kakak kandungku sendiri. Tapi apa boleh dikata, itu keyataannya. Dan aku tak
tahu sejak kapan. Karena setelah kecelakaan itu, hanya Reno dan Reno yang selalu
kulihat. Hanya dia yang menyayangiku, merawatku dan sekaligus memberikan
motivasi agar aku tak takut dengan kedaan ini. Agar aku tak lagi trauma naik
mobil, dan agar aku tidak minder dengan keadaanku yang cacat ini.
Aku menoleh. Aku hanya mengangkat
wajahku.
“Ayo ke gereja!” ajaknya.
Gereja?
Ya, sekuat-kuatnya aku, tapi aku
akan selalu menolak bila di ajak ke gereja. Dan sudah hampir 4 tahun aku tak
menginjak yang namanya gereja. Bukan karena aku lupa pada Yesus, melainkan
keadaan yang memaksaku seperti ini.
Aku menunduk.
“Kenapa?” tanya Reno yang telah
jongkok di hadapanku. Membuat darahku mengalir deras. Apalagi tatapannya yang
tajam itu, membuatku semakin gugup saja.
Aku menggeleng.
“Sampai kapan kau akan begini, Sya?”
tanyanya seolah frustasi.
Sampai aku bisa bernyanyi, jawabku
dalam batin.
Reno lalu memelukku erat. “Kumohon
Sya, kamu jangan seperti ini. Kamu butuh Yesus, Sya. Jangan tinggalkan Dia,”
ucap Reno di tengah isak tangisnya.
Ah, aku tak pernah melupakan Yesus.
Tapi, tapi aku belum siap dengan keadaan ini. Itu saja. Dan aku hanya butuh
waktu.
***
Aku merasa kesepian. Selalu di kamar
dan ditinggal bekerja oleh Kak Reno. Aku butuh teman untuk bicara.
Aku melihat sebuah buku tergeletak
di meja samping ranjangku. Aku meraihnya. Dan jemariku, dengan indah menari di
atasnya.
Dear
Yesus,
Tuhanku,
Kau Maha Tahu
Sebagaimana
tahu apa yang tidak pernah mereka tahu
Dan
Kau pun tahu, aku sama sekali tak pernah melupakanmu
Dan
mungkin hampir sama, seperti aku yang tak pernah
Melupakannya
Sya
Ah, jemariku pun tiba-tiba terhenti.
Dalam otakku, banyak sekali yang ingin aku ungkapkan. Tapi jemariku, masih
enggan untuk menulis. Justeru mulutku sibuk berkomat-kamit tanpa suara.
Keadaan ini benar-benar menyiksaku,
aku sudah tidak tahan. Aku ingin berbicara, aku ingin bercerita. Tapi kenapa
terasa sulit sekali? Kenapa?
Aku ingin berteriak atas kekesalan
ini, kenapa tidak bisa?
Emosiku melouap. Aku melempar bukuku
dan bolpoinnya. Dan aku, kembali menangis. Kesal dan juga bingung. Kenapa aku
seperti ini? Kenapa diusiaku yang tergolong muda, aku harus cacat?
***
Entah karena capek, atau entah
karena mengantuk. Mataku terpejam. Dan aku merasa berada di suatu tempat yang indah.
Tempat yang dipenuhi dengan bunga-bunga. Udaranya begitu sejuk. Namun, sepi.
Aku terus memutar tubuh mengamati
sekelilingku. Sama sekali tak ada seorangpun berada. Dan aku, menanti. Entah
apa yang aku nanti, aku tak tahu.
Hingga akumelihat Mama dan Papa
berjalan ke arahku. Mereka mengenakan baju putih-putih.
“Mama? Papa?” teriakku dan berlari
ke arah mereka yang juga tengah menuju ke arahku.
Mereka hanya tersenyum tanpa
mengucapkan sepatah katapun.
Ketika kami saling mendekat, kami
berpelukan.
Rasanya, rinduku tengah terobati.
Kami bercengkerama untuk beberapa
saat. Hingga waktunya telah habis dan Mama dan Papa meninggalkanku seorang
diri. Tapi, sebelum mereka pergi, mereka memberikan sebuah buku kepadaku.
“Apa ini?” tanyaku tak mengerti.
Tapi mereka sama sekali tak
menjawabnya adan hanya tersenyum. Lalu meninggalkanku seorang diri.
Sementara aku, aku masih diliputi
kebingungan yang tak menentu.
Apa arti semua ini?
***
Ketika aku terbangun dari mimpiku,
Reno sudah ada di dekatku. Rupanya dia sudah pulang dari kantornya.
Aku membelalakkan mata. Menatapya
setengah melotot. Namun Reno hanya tersenyum menatapku.
“Kau sudah bangun?”
tanyanya.
Aku mengangguk pelan.
“Aku punya sesuatu untukmu!”
katanya.
“Apa?” tayaku dengan bahasa isyarat.
Lalu, Reno memperlihatkan sebuah
novel untukku. “Aku tahu, selama aku bekerja, kau pasti kesepian. Ku harap,
novel ini bisa menjadi pengobat kebosananmu ketika aku bekerja,” ucapnya lalu
memberikan novel itu kepadaku.
Aku menerimanya. Melihat-lihat
sampulnya, lalu membukanya lembar demi lembar. Dan sepertinya, ceritanya
menarik.
“Terima kasih ya, Kak,” kataku
dengan bahasa isyarat.
Dan semenjak saat itu, aku menjadi
seorang yag hobi membaca. Setiap kali Kak Reno mau berangkat bekerja, dan dia
bertanya padaku : “Kamu mau oleh-oleh apa?”
Aku hanya memperlihatkan sebuah
novel. Dengan begtu, dia bisa langsung tanggap kalau aku menginginkan sebuah
novel baru. Dan setelahnya dia pulang kantor, pasti sudah siap dengan novel
baru untukku.
Bahkan, tak jarang kalau Kak Reno
bertanya padaku tentang novel yang baru aku baca. Aku hanya bercerita dengan
bahasa isyarat. Atau, kadang merangkumkan cerita-cerita itu di atas kertas.
“Sya, kenapa kamu tak menulis saja?”
tanya Kak Reno tiba-tiba.
Menulis? Aku terkejut mendengar
pertanyaan itu.
“Apa yang harus aku tulis?”
“Apa yang ada di pikiran kamu!”
Aku terdiam. Menulis apa yang ada di
pikiranku.
***
Keesokan harinya, Kak Reno pulang
dengan membawa sebuah leptop untukku.
“Untuk apa itu? Mana novel untukku?”
Kak Reno hanya tersenyum. “Udah
bukan lagi zamannya baca novel, tapi zamannya kamu yang nulis novel,” ucap Kak
Reno kepadaku.
“Tapi aku enggak bisa!”
“Coba dulu baru alesan,” ucapnya.
“Oh ya, Kakak pesen satu novel yaa, Sya,” tambahnya lalu nyelonong pergi.
Ah, Kak Reno. Selalu saja punya cara
agar aku tidak bosan, agar aku punya kegiatan.
Aku jadi teringat dulu, Kak Reno
yang selalu memuji-muji suaraku. Awalnya aku yang hanya penyayanyi gereja,
akhirnya bisa menjadi penyanyi dalam pesta-pesta.
Dan demi Kak Reno, aku belajar
menulis. Belajar bercerita melalui pena. Jika dulu aku bisa bercerita melalui
lisan, kenapa sekarang aku tak bisa bercerita melalui pena.
Dan jika mereka semua bertanya
tentang apa yang aku ceritakan, aku akan menjawabnya tentang diriku. Tengtang
gadis bisu yang yatim piatu, hidup bersama kakaknya dan jatuh cinta pada
kakaknya sendiri. Gadis bisu itu hanya bisa memendam perasaannya, karena dia
menyadari kalau perasaannya adalah sesuatu yang salah dan terlarang.
***
Beberapa
bulan berlalu.....
Aku sudah bisa menulis. Dan orang
yang pertama membaca tulisanku adalah Kakakku sendiri, salah satu tokoh dalam
novel yang aku buat.
“Sya, imajinasimu bagus bener?”
pujiya.
Aku hanya tersenyum. Dia menganggap
itu semua hanyalah imajinasi? Apakah dia tak sadar, kalau apa yang dia baca
adalah cerminan dari dirinya sendiri dan diriku???
0 komentar:
Posting Komentar