Sabtu, 20 Januari 2018

CINTA NON KOMERSIL

CINTA NON KOMERSIL
By : Witri Prasetyo Aji

            “Vi, tahu nggak, hari ini Edo ngajak gue nonton. Pokoknya, hari ini tuh gue seennengg banget,” cerita Clara kepadaku dengan wajah berseri-seri. Senyuman hampir tak pernah terlepas dari bibir manisnya itu.
            Aku hanya mampu tersenyum getir melihat kebahagiaan Clara dan tetap setia mendengarkan penuturannya yang sebenarnya membuatku merasa iri. Bagaimana tidak? Jadi Clara tuh beruntung banget, sudah anaknya cantik, manis, pinter, anak orang kaya pula. Selain itu, Clara juga punya pacar Edo yang cakep dan kaya. Sering nonton bareng, jalan-jalan, hang out, dan sering diberi kejutan-kejutan pula. Beda banget dengan aku. Walaupun aku tak kalah cantiknya dengan Clara, tapi aku tak seberuntung Clara yang mendapatkan pangeran cakep nan kaya macam si Edo.
            Pacarku bernama Ryan, memang tidak sekaya Edo, namun Ryan cukup memberikanku perhatian lebih dari yang Edo berikan ke Clara. Ryan itu  anaknya biasa saja, dari keluarga sederhana pula, pacaran kami pun tak ada romantis-romantisnya. Ryan tidak pernah mengajakku nonton, makan bareng apalagi membelikanku kejutan-kejutan kecil seperti Edo. Ya, aku bisa mengerti itu. Buat bayar SPP saja sering ngadat, apalagi buat membelikanku kejutan-kejutan berupa barang.
            Pernah aku minta sesuatu ke Ryan, namun dia malah ngatain aku cewek matre dan membanding-bandingkan aku dengan Rena—mantan pacarnya. Dan setelah itu, aku sama sekali tak berani meminta apapun pada Ryan. Bahkan, saat jalan bareng pun aku juga tak pernah meminta dibeliin makanan olehnya walaupun saat itu aku sedang lapar. Aku cukup trauma dibilang cewek matre oleh pacarku sendiri. Padahal waktu itu aku hanya minta Ryan untuk membelikanku sebuah novel.
            “Woi, kok bengong sih?” gertak Clara mengagetkanku. Lamunanku membuyar. Aku pun kembali terdampar dalam dunia nyata.
            “Eh, oh, eh,” jawabku gelagapan. Aku jadi salah tingkah sendiri.
            “Lo kenapa sih, Vi? Akhir-akhir ini gue perhatiin lo tuh sering banget ngelamun?” tanya Clara padaku sembari menyeruput jus alpukatnya.
Aku juga menyeruput jus apelku yang sedari tadi aku anggurin lantaran melamun tentang kepelitan Ryan padaku.
“Nggak apa-apa kok, Ra. Mungkin gue sedikit kecapekan aja,” bohongku.
Walaupun Clara sahabat karibku, aku tak mungkin bercerita padanya tentang gaya pacaranku dengan Ryan. Aku nggak mau kalau pacarku akan dikatain cowok nggak modal. Walau bagaimanapun juga, Ryan itu adalah cowok yang aku cintai. Mana mungkin hatiku bisa menerima seandainya ada yang menghinanya. Yah, walaupun pada kenyataannya Ryan memang sedikit keterlaluan, dia begitu berbeda dengan yang lainnya. Yang jelas, Ryan terlalu perhitungan perihal pengeluaran.
“Oh, ya Vi, gimana kalo ntar kita nonton bareng? Double date gitu?” usul Clara yang sebenarnya lumayan menarik untuk dijalani.
Aku mengerutkan keningku. Rasanya itu mustahil. Ryan mana mau menghambur-hamburkan uangnya hanya buat nonton. Bisa-bisa dia malah menceramahiku dan mungkin akan bilang... aku matre.
“Kayaknya gue nggak bisa deh, Ra. Tadi Mama nyuruh gue cepet-cepet pulang kalo nggak ada kuliah,” alasanku yang berusaha menyelamatkan diri dari ajakan Clara.
Clara menampakkan wajah cemberutnya. Bibirnya manyun. Sepertinya kecewa, begitu juga dengan aku. Tapi, ya sudahlah. Aku tak berani mengambil resiko, aku sedang malas berdebat dengan Ryan.
“Yah, sayang sekali.padahal hari ini tuh ada film horor terbaru, gue yakin lo pasti suka,” celoteh Clara yang semakin membuatku merasa iri.
Aku hanya mampu tersenyum getir, menyembunyikan kekecewaanku.
“Lain kali kan masih ada waktu, Ra,” ucapku menghibur.
Clara hanya manggut-manggut dan kembali menyeruput jus alpukatnya.
*****
            Malam minggu. Aku selalu menghabiskan malam mingguku di rumah. Walaupun Ryan kerap sekali datang ngapel, namun sekalipun Ryan belum pernah mengajakku malam mingguan di luar. Katanya, malam minggu di rumah lebih aman, malah bisa lebih dekat dengan kelurgaku. Dan juga, udara malam itu nggak baik buat kesehatan, dan bla bla bla. Ryan selalu mempunyai sejuta aalsan untuk tidak mengajakku malam minggu di luar.
            “Kog Cuma diem aja sih, Vi?” tanya Ryan kepadaku.
            “Nggak apa-apa kog,” jawabku datar. Sebenarnya aku ingin sekali mengungkapkan keinginanku, aku ingin pacaran yang wajar, seperti teman-temanku yang lainnya. Setidaknya, ada jalan-jalan, dinner, lunch, nonton, kado-kado kecil atau apalah. Sementara aku dan Ryan? Sama sekali nothing special, monoton dan membosankan. Pacaran selalu di rumah dan ditemani buku-buku kuliah serta rancangan masa depan yang menurutku belum waktunya untuk aku pikirkan.
            “Vi, kalo ada masalah tuh cerita, jangan dipendem sendiri,” ujarnya menasehatiku.
            Aku menyunggingkan senyum keterpaksaan. Mudah sekali Ryan berbicara seperti itu. Apa dia tak menyadari bagaimana dirinya selama ini menjadi pacarku? Kenapa Ryan sama sekali tak memikirkan tentang perasaan aku, hati aku? Kenapa dia sama sekali tidak peka, sih?
            Aku hanya terdiam. Rasanya masih malas untuk berkeluh kesah pada Ryan. Aku sudah bosan mendengarkan ceramah-ceramah Ryan yang terlalu berlebihan itu. Lebay.
            “Vi, aku ini pacar kamu, kenapa kamu nggak mau cerita ke aku?” tanyanya lagi.
            Aku menarik nafas berat. Menatap Ryan lekat-lekat. Wajah polosnya itu membuatku tak tega untuk menuntut lebih dari apa yang Ryan berikan kepadaku selama ini. Bahkan, dari sinar matanya aku mampu melihat ketulusannya yang tak pernah orang lain pancarkan.
            Apa aku salah, jika aku ingin pacaran seperti yang lainnya? Batinku menjerit di ambang dilema. Antara kejujuran atau aku harus menahan egoku.
            Aku menunduk. Air mataku menetes.
            “Kok malah nangis sih, Vi?” tanya Ryan yang mendekat ke arahku. Tangannya yang lembut mengusap pipiku yang basah karena air mata.
            Tangisku semakin terisak. Ryan lalu menarik tubuhku ke dalam pelukannya.“Diam dong Sayang, jangan nagis. Ntar diketawain bintang-bintang loh,” hibur Ryan padaku. Nada bicaranya terdengar lembut dan menyejukkan hati.
            Aku menyandarkan kepalaku di dadanya. Menikmati pelukan Ryan yang cukup menghangatkan. Sementara egoku masih tetap bergejolak dalam hatiku. Anganku menerawang ke Clara yang tengah nonton dengan Edo. Pasti sehabis nonton, Edo akan mengajaknya dinner atau siap membelikan barang-barang mewah yang tak pernah Ryan berikan padaku.
            “Sayang, ada bintang jatuh tuh. Cepet make a wish,” ucap Ryan sembari menunjuk ke langit dan membuyarkan lamunanku tentang Clara dan Edo.
            Aku menutup mataku. Menginginkan kalau Ryan mau berubah seperti cowok-cowok yang lainnya. Setidaknya mau menyisihkan sedikit uangnya untuk modal pacaran kami agar tak monoton seperti ini. Hmm, malam minggu selalu dihabiskan di pelataran rumahku sembari melihat bintang, benar-benar membosankan.
            “Sayang, semoga kita berjodoh, ya? Aku nggak mau kehilangan kamu, aku pengen kamu nanti jadi isteri aku,” ucap Ryan yang membuatku tersentak. Seserius itukah dia padaku?
            Aku hanya tersenyum.
            Dalam hatiku rasanya ingn menolak ucapan Ryan. Membayangkan bagaimana menata kehidupan bersama cowok perhitungan seperti Ryan. Bisa-bisa sebulan diajak puasa. Ah, tidak! Aku dan Ryan masih terlalu dini untuk berpikir ke arah itu.
*****
            Aku mendekat ke arah Clara yang tengah mengaduk makanannya. Wajahnya terlihat murung dan kelam. Aku tak lagi melihat wajah sumringah yang biasa terpancar dari Clara.
            “Lo kenapa, Ra? Ada masalah?” berondongku ingin tahu.
            Clara hanya terdiam. Dia masih mengaduk makanan yang sudah dipesannya oleh Mbok Min—ibu kantin. Hingga beberapa menit kemudian, Clara masih terdiam, namun dia segera memelukku ditemani airmata yang tumpah dari pelupuk matanya. Aku semakin bingung dibuatnya.  What happen? Pekikku dalam hati.
            Untuk beberapa saat, aku membiarkan Clara berteduh dalam pelukanku. Aku memang belum tahu dengan apa yang tengah menimpa Clara, tapi aku tahu kalau Clara sangat terpukul.
            Perlahan Clara melepaskan pelukannya. Dia lalu mengusap airmata yang tengah membasahi wajahnya. Dan Clara mulai sedikit tenang.
            “Clara, ada apa? Cerita dong,” bujukku penuh rasa penasaran.
            Clara hanya terdiam. Sepertinya dia butuh waktu untuk mengungkapkan apa yang tengah menimpanya. Sebagai sahabat, aku cukup sabar menanti Clara membagi cerintanya.
            “Gue putus ma Edo,” ucap Clara singkat. Bagai petir di siang bolong, aku tak percaya dengan apa yang diucapkan Clara. Mungkin ini semua haya lelucon belaka yang sengaja Clara ciptakan.
            “Hahahahhahah,” tawaku penuh rasa tak percaya.
            “Braakkkk!!” Clara mengertak meja dan membuatku menghentikan tawaku. Hingga beberapa pasang mata sempat melirik ke arahku dan Clara. “Gue serius, Vi!” ucap Clara setengah membentak.
            Beberapa detik kami dalam keheningan. Aku merasa bersalah karena telah menertawakan Clara.
            “Edo itu ternyata playboy. Dia pikir, dengan uang semua akan mampu dia dapatkan,” ucap Clara tiba-tiba. Aku hanya mendengarkannya saja, aku diam. “Yang lebih menyakitkan, dia bukan hanya berfikir kalau dia mampu membeli cinta, tapi...” Clara kembali tertahan. “Harga diri gue.”
            Aku melirik wajah kelam Clara yang begitu pilu. Aku tahu bagaimana besar cinta Clara ke Edo. Namun aku juga tahu dengan apa yang Clara rasakan saat ini, mungkin lebih dari kecewa.
            “Dan yang ngebuat gue lebih nggak percaya, habis nonton dia malah ngajak gue happy-happy ke hotel. Ah,” sambung Clara penuh getir.
            Aku hanya diam mendengarkannya, aku tak mau banyak bertanya, karena mungkin  pertanyaanku hanya akan semakin menyiksa perasaan Clara. Tapi dari cerita Clara, setidaknya aku tahu, cowok kaya itu banyak nggak setianya. Dan aku, aku merasa bersalah karena pernah membandingkan Ryan dengan Edo, padahal Ryan jauh lebih menghargai wanita daripada Edo.
*****
Dan sore itu, Ryan mengajakku untuk makan di luar. Sesuatu yang jauh banget dari kebiasaan. Mungkin, selama kami pacaran, ini adalah kencan pertama kami. Ah, aku yang terlihat lebay..hehe
“Vi,” panggil Ryan lirih.
“Iya,” jawabku sembari meliriknya.
Ryan hanya diam saja, dia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Ada kotak kecil yang dibukanya. Lalu menarik jemariku dan menyematkan sebuah cincin berlian di jari manisku.
            “Vi, maafin aku selama ini kalau aku nggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu. Tapi aku janji, Vi, aku akan berusaha jadi suami yang baik buat kamu,” ucap Ryan yang menatap lekatku.

            Aku tak lagi mampu berkata apa-apa. Mungkin hanya air suci yang terjatuh dari sudut mataku yang mampu menjawab kejutan kecil ini. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar